TDL Batal Naik, Inflasi Menurun

Jakarta, 25/10/2010 MoF (Fiscal) News – Batalnya kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun 2011 berdampak pada penurunan dan penekanan inflasi. Demikian diungkapkan Pj. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Agus Supriyanto, Senin (25/10) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Senayan, Jakarta.

Menurut Agus, Tarif Dasar Listrik (TDL) sebenarnya masuk dalam administered price atau inflasi barang/jasa yang perkembangan harganya secara umum diatur pemerintah. Pemerintah sendiri melihat Inflasi inti (core inflation) dan administered price masih dapat dijaga dengan baik. “Batalnya kenaikan TDL malah bisa menurunkan inflasi inti, itu kan masuk ke administered price. Core inflation sama administered price itu masih bisa dijaga,” ungkapnya.

Sebelumnya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2011, pemerintah menetapkan target inflasi 2011 sebesar 5,3% yang akan tercapai jika pemerintah tidak menaikkan harga-harga komoditas yang diatur negara, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL) dan pupuk.

Agus menjelaskan, selain dari beberapa harga komoditi yang diatur negara, pemerintah masih terus menjaga inflasi yang bergejolak, karena merupakan penyumbang inflasi terbesar. Inflasi yang bergejolak bersumber dari harga-harga pangan yang meningkat karena adanya gejala musim dan cuaca yang tidak kondusif. “Inflasi sudah ditetapkan 5,3 persen, tapi pemerintah lebih fokus pada core inflation, karena kalo volatile food itu hanya beberapa komoditi, tapi kalau inflasi inti bisa kita jaga di bawah 5 persen, itu sudah aman,” pungkasnya.(DM)

Pemerintah Akan Naikkan Cukai Rokok

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah akan menaikkan cukai hasil tembakau atau rokok pada 2011 menyusul kenaikan target penerimaan cukai yang meningkat dari Rp 59,3 triliun pada APBNP 2010 menjadi Rp60,7 triliun pada RAPBN 2011.

Dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2011 yang diperoleh di Jakarta, Kamis, menyebutkan, salah satu faktor yang berpengaruh pada peningkatan target penerimaan cukai adalah peningkatan tarif cukai rokok sesuai dengan “roadmap” cukai hasil tembakau.

Faktor lain yang berpengaruh pada peningkatan penerimaan cukai adalah peningkatan tarif cukai minuman mengandung ethil alkohol (MMEA) dan ethil alkohol (EA), perbaikan administrasi kepabeanan dan cukai, dan extra effort untuk mengurangi peredaran barang kena cukai secara ilegal.

Target penerimaan cukai pada 2011 adalah sebesar Rp60,7 triliun, terdiri atas cukai hasil tembakau sebesar Rp58,1 triliun dan cukai MMEA dan EA sebesar Rp2,7 triliun.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Thomas Sugijata, mengakui adanya rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok, namun kenaikannya tidak akan terlalu signifikan. “Akan ada penyesuaian tarif cukai, tetapi penyesuaian itu masih dalam tahap moderat. Artinya kalau dinaikan tidak akan terlalu signifikan,” kata Thomas.

Menurut dia, kenaikan target penerimaan cukai akan dipenuhi dari cukai rokok, bukan dari cukai MMEA atau minuman keras dan EA. Tarif cukai miras sudah mengalami kenaikan lebih dari 100 persen pada 2010 sehingga tidak mungkin dinaikkan kembali pada 2011.

Jika kenaikan cukai itu disetujui DPR maka kenaikan tarif cukai rokok akan mulai berlaku sejak semester pertama 2011. Thomas menyebutkan, untuk menutup kenaikan terget penerimaan cukai rokok, pemerintah tidak mungkin melakukannya dengan menaikkan jumlah produksi rokok karena pemerintah sudah menentukan pembatasan produksi rokok. “Secara alamiah produksi rokok memang naik, tetapi akan ada pembatasan sehingga yang dinaikkan tarifnya,” katanya.

Sementara mengenai besaran kenaikan tarif cukai rokok, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Agus Supriyanto mengungkapkan besarannya akan disesuaikan dengan perkiraan laju inflasi selama 2011 yaitu sekitar lima persen. “Sebesar lima persen, ya… inflasilah, sekadar menjaga nilai riilnya tidak turun, dinaikkan lima persen rata-rata,” katanya.

Menurut Agus, kenaikan tersebut akan berbeda-beda berdasarkan jenis rokoknya.
“Tapi distribusi untuk tiap jenis rokok beda-beda. Untuk rokok putih lain, rokok kretek lain, untuk yang banyak nyerap tenaga kerja juga lain,” katanya.

Sebelumnya pada awal 2010, pemerintah juga memberlakukan kebijakan cukai hasil tembakau. Dalam kebijakan cukai 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbanqkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran.

Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga jual eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap.

Namun demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi.

Kenaikan yang dilakukan pada golongan I dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada sigaret putih mesin (SPM) diambil dalam rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan sigaret kretek mesin (SKM).

Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah SKM I rata-rata sebesar Rp 20, SKM II sebesar Rp 20, SPM I sebesar Rp 35, SPM II sebesar Rp28, sigaret kretek tangan (SKT) I sebesar Rp 15, SKT II sebesar Rp 15, dan SKT III sebesar Rp 25 per batang

Temulawak Dipatenkan Asing

Jakarta, Kompas – Zat aktif temulawak untuk obat lever, antikanker, serta jantung dipatenkan pihak asing di Amerika Serikat. Temulawak merupakan jenis tanaman asli Indonesia dan jika dijadikan sebagai zat aktif obat-obatan komersial, semestinya diatur pembagian manfaatnya.

”Ini bagian dari biopiracy (pembajakan sumber daya genetik) yang semestinya diatur benefit sharing atau pembagian manfaatnya,” kata Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Hardhi Pranata, Selasa (19/10), pada Konferensi Internasional Tanaman Obat-obatan yang diselenggarakan 19-21 Oktober 2010 di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.

Hardhi mengatakan, ketiga obat herbal dari zat aktif temulawak (Curcuma xanthorrhiza) itu sejak dua atau tiga tahun terakhir diproduksi perusahaan obat di Indonesia dan sudah beredar di pasaran. Perusahaan itu pun terikat pendaftaran paten dari Amerika Serikat.

”Harga obat-obatan herbal itu sekarang 1.000 kali lipat lebih mahal daripada obat dengan bahan mentah yang sama yang sebenarnya sejak lama juga diproduksi di dalam negeri,” kata Hardhi.

Obat herbal yang diproduksi negara-negara lain dengan bahan mentah dari Indonesia telah menunjukkan naiknya kecenderungan minat masyarakat dunia terhadap obat herbal, tetapi Indonesia tidak siap melindungi sumber daya genetiknya.

”Tren pengobatan kembali kepada alam mulai diminati dan sebanyak 12 rumah sakit pun berhasil didorong supaya membuka klinik jamu,” kata Hardhi.

Ke-12 rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Umum Sanglah, Bali; RS Kanker Dharmais, Jakarta; RS Persahabatan, Jakarta; dan RS Dr Soetomo, Surabaya.

Kemudian RS Wahidin, Makassar; RS Angkatan Laut Mintohardjo, Jakarta; RS Pirngadi, Medan; RS Syaiful Anwar, Malang; RS Dr Suharso, Solo; RS Dr Sardjito, Yogyakarta; RS Suraji, Klaten; dan RS Kandau, Manado.

Saintifikasi jamu

Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional pada Kementerian Kesehatan Indah Yuning Prapti mengatakan, saat ini masih ditempuh program saintifikasi jamu untuk memberikan bukti-bukti ilmiah terhadap isi atau kandungan jamu.

”Saintifikasi ini berkaitan dengan pemberian standar jamu kepada pasien, tetapi sekaligus pencapaian standar bahan-bahan herbal yang digunakan,” kata Indah.

Saat ini beredar sekitar 3.000 produk obat herbal di Indonesia. Menurut Indah, hanya sebagian kecil saja yang sudah teruji secara klinis melalui uji coba pada manusia dan dinyatakan sebagai fitofarmaka.

Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Listyani Wijayanti mengatakan, saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) hanya menyatakan sebanyak lima jenis obat herbal sebagai fitofarmaka, yaitu obat-obatan herbal untuk imunomodulator atau kekebalan tubuh, hipertensi, rematik, diare, dan stamina khusus pria.

Hardhi mengatakan, pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan supaya jamu digunakan untuk mengobati pasien oleh para dokter. Namun, harus diakui adanya kesulitan standar bagi dokter untuk meresepkan obat-obat herbal tersebut.

Proses saintifikasi jamu, menurut Hardhi, sekarang ini sangat menunjang tiga prinsip penyembuhan pasien, yaitu tepat dosis, tepat waktu, dan tepat pasien.

”Saintifikasi jamu mendukung pemanfaatan jamu tidak hanya preventif atau pencegahan saja, tetapi juga bisa untuk kuratif atau penyembuhan,” kata Hardhi.

Indah mengatakan, produksi jamu masih sering menghadapi persoalan kesinambungan bahan baku. Namun, sebagian petani produsen bahan baku jamu justru kerap mengeluhkan, bahan-bahan yang diproduksi tidak selalu terserap pasar. (NAW)

2011 Pemerintah Hapus Fiskal Luar Negeri

JAKARTA, KOMPAS.com — Mulai tahun depan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bakal kehilangan satu sumber pendapatan. Sebab, sesuai UU Pajak Penghasilan atau PPh, mulai 2011, pemerintah akan menghapus pajak bagi orang yang bepergian ke luar negeri atau sering disebut fiskal luar negeri.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Iqbal Alamsjah mengatakan, sejauh ini pemerintah belum bisa memperkirakan potensi kehilangan pendapatan pajak dari pos itu. “Potential loss dasarnya realisasi tahun 2010. Dan, itu baru dapat diketahui akhir tahun,” tulis Iqbal dalam pesan singkatnya kepada Kontan, Rabu (20/10/2010) malam.

Sebagai gambaran, dia menjelaskan, target perolehan fiskal luar negeri tahun 2010 adalah sebesar Rp 39,57 miliar. Namun, sampai 15 Oktober, realisasinya baru Rp 8,78 miliar atau 22,2 persen.

Sekadar mengingatkan, menurut UU PPh, bebas fiskal sebesar Rp 1 juta per orang sebenarnya sudah dapat dirasakan masyarakat sejak 1 Januari 2009. Hanya saja, penghapusan itu hanya berlaku bagi masyarakat yang telah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Kebijakan bebas fiskal secara menyeluruh baru berlaku tahun 2011.

Rencananya, Ditjen Pajak akan berupaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak untuk menutup potensi kehilangan pendapatan dari fiskal luar negeri. (Kontan/Martina Prianti)

Bahaya Kecanduan Pornografi pada Pria

VIVAnews – Selama ini sebagian pria menganggap kebiasaan menonton film porno merupakan hal wajar. Bahkan, tidak sedikit juga pria yang menganggap dengan menyaksikan film ini akan makin menambah referensi gaya bercinta.

Tapi, tunggu dulu. Menurut sebuah survei, pria yang kecanduan menonton adegan film porno bisa memunculkan dampak negatif, khususnya kepada pasangan, seperti dikutip dari Timesofindia.

Dampak yang muncul, antara lain, sebagian pria bisa memonopoli hubungan seksual. Pria bisa menganggap pasangannya pasti siap memenuhi semua keinginannya bercinta, seperti yang sering dia tonton dalam film porno. Pria yang sudah kecanduan menonton film erotis atau mengakses situs porno bisa menjadi kesal dan marah meledak-ledak ketika pasangan menolak untuk berperilaku layaknya bintang porno favoritnya.

Dampak negatif lainnya, pria yang ketagihan menonton film porno, dapat merasa sangat kecewa dengan kemampuannya seksual mereka sendiri. Mereka cenderung membandingkan performa seksualnya dengan aktor film porno yang punya kemampuan bercintanya hebat.

Tipe pria ini bisa merasa sangat tidak percaya diri saat bercinta dengan pasangan. Mereka bisa merasa seperti pecundang seksual dan selalu khawatir bila tidak mampu memuaskan pasangan.

Sebagian pria menganggap wanita selalu siap bercinta. Dalam film porno wanita sering menjadi objek dan bisa bercinta kapan saja. Hal itu bisa membuat pria yang kecanduan pornografi beranggapan, wanita bisa siap kapan saja untuk diajak bercinta. Padahal kenyataannya, wanita sangat dipengaruhi mood dan perasaan saat ingin bercinta. (pet)

Baca juga: Bukan Kondom Biasa

– Rasakan Sensasi Fantasi Bercinta